Refleksi 89 Tahun Sumpah Pemuda: Pemuda Jangan Menjadi Budak Teknologi

Share:

Oleh: Fakhrizal Muttaqien

Ini merupakan sebuah tulisan yang berawal dari keresahanku, melihat kehidupan pemuda dan pemudi Indonesia hari ini yang nampaknya enak sekali, dimanjakan oleh teknologi modern, gadget, smartphone, internet. Malam-malam seperti ini kita masih bisa dengan nyamannya nonton anime terbaru atau drama korea ditemani secangkir kopi, padahal pada jaman dahulu, saat negri Indonesia ini belum merdeka, para pemuda dan pemudi mungkin tidak hidup enak seperti kita. Momen Sumpah Pemuda hari ini mendorongku untuk membuat tulisan ini, sebuah tulisan untuk mengingatkan diriku sendiri dan ajakan bagi teman-teman yang membacanya.

“Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia”.
“Kami Putra dan Putri Indonesia menagku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia”.
“Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Seperti itulah bunyi Sumpah Pemuda yang digaungkan para pemuda dan pemudi Indonesia tepat 89 tahun yang lalu. Lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan momentum awal dari bangkitnya persatuan masyarakat Indonesia untuk memerdekakan diri dari  ketertindasan penjajah. Sebuah gerakan yang diprakarsai oleh para pemuda dan pemudi di seluruh penjuru Indonesia ini membawa angin perjuangan yang lebih terkoordinir dan terstruktur, dari yang awalnya hanya perjuangan kedaerahan saja menjadi sebuah perjuangan yang komunal.

Kehidupan para pemuda dan pemudi Indonesia pada jaman lahirnya Sumpah Pemuda, mungkin tidak setentram hari ini. Malamnya mereka mungkin tidak sedamai malamnya kita hari ini. Namun kemerdekaan bangsa ini adalah hasil perjuangan dan perlawan para pemuda dan pemudi jaman dahulu. Sehingga kita bisa menikmati kehidupan hari ini.

Namun apakah pemuda dan pemudi Indonesia hari ini sudah bebas dari penjajahan? Kalau aku sih ragu. Justru pemuda dan pemudi hari ini masih dalam penjajahan, parahnya lagi jika kita tidak menyadari hal itu. Memang kini sudah tidak ada lagi tentara militer dari negara lain yang menduduki negri ini, namun penjajahan tersebut bertransformasi menjadi bentuk baru, yaitu penjajahan moral dan penjajahan mental.

Penjajahan tersebut diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat di dunia ini. Berbagai macam produk modern banyak diciptakan dan semakin memudahkan berbagai macam aktivitas manusia. Namun bagai pisau bermata dua, bagi pemuda dan pemudi Indonesia hari ini teknologi modern tersebut justru menghasilkan budaya konsumtif dan hedon semata. Banyak pemuda dan pemudi yang lebih suka shopping ke mall, nonton bioskop, makan di restoran ternama, daripada menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku, berdiskusi atau berkarya yang produktif lainnya.

Selain itu, kehidupan pemuda dan pemudi hari ini tidak lepas dari teknologi modern. Contohnya saja yang ada ditangan kita sekarang, gadget atau smartphone. Aku yakin mayoritas pemuda dan pemudi Indonesia hari ini tidak lepas dari gadget. Mungkin minimal sehari satu kali membuat history di whatsapp atau Instagram untuk mengabadikan moment yang dilewatinya. Dampaknya, hal tersebut dapat meninabobokan pemuda dan pemudi Indonesia dari realita persoalan bangsa hari ini.

Mental materialistik juga nampaknya kini menjangkit para pemuda dan pemudi Indonesia. Dimana kini para pemuda dan pemudi Indonesia lebih senang bekerja menjadi budak-budak para Kapitalis di perusahaan-perusahaan besar daripada memikirkan kehidupan rakyat kecil yang tertindas. Bekerja dari pagi sampai sore, terjebak kemacetan dan mendapatkan gaji.

Seorang penulis bernama Seno Gumira Ajidrama dalam tulisannya menyebutkan “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa”.

Masa muda lewat begitu saja oleh kesibukan pekerjaan. Padahal masa muda adalah masa dimana yang seharusnya paling produktif, karena pikiran masih segar dan fisik masih kuat. Seorang aktivis mahasiswa angkatan 66 bernama Soe Hok Gie berkata “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua, beruntunglah bagi yang mati muda”. Mengapa umur tua menjadi nasib tersial? Menurutku karena masa muda yang tidak benar-benar dimafaatkan, masa muda yang dilewatkan begitu saja tanpa adanya perjuangan, tanpa adanya karya, tanpa adanya kontribusi untuk negri, maka lengkaplah kesialan di umur tua.

Maka dari itu, marilah kita mengisi masa muda dengan hal yang produktif dan bermanfaat bagi negri. Perjuangan pemuda dan pemudi pada jaman lahirnya Sumpah Pemuda adalah melawan penjajahan kolonial Belanda yang berusaha merebut wilayah Indonesia, sedangkan perjuangan pemuda dan pemudi Indonesia hari ini adalah perjuangan melawan perbudakan yang dihasilkan dari teknologi, yang menciptakan mental konsumtif, hedon dan apatis terhadap berbagai persoalan bangsa hari ini.

Marilah kita explore pemikiran kritis dan fisik sehat yang kita miliki untuk berkarya sesuai dengan passion kita. Manfaatkan perkembangan teknologi hari ini untuk menghasilkan kontribusi kita untuk negri, untuk rakyat kecil dan tertindas di bidang apa pun itu. Jangan justru kita diperbudak dan dininabobokan oleh teknologi, dan jangan relakan masa muda kita di explore justru oleh para Kapitalis untuk memperkaya mereka sendri.

*Banjaran, Bandung, 28 Oktober 2017 1.00 AM.

Tidak ada komentar